Ignis Natura Renovatur Integra. Powered by Blogger.
RSS

Vlug!

pada sore di perkebunan yang jingga itu van langen merasa hidupnya hampir berakhir. pembangunan dan penggolontoran aspal yang dilaksanakannya sebagai pelaksana projeect gubernur generaal murjangkung belum juga selesai separonya. proyek anjer-panarukan ini menyiksaku pikirnya. dan ia ingin segera pulang kerumahnya.
"Het is mooi weer." suara seorang coolienya yang sok tahu bahasa nederlen menyapa mengagetkannya.
"Kunt u duidelijker spreken, alstublieft?" jawab van langen
"Het is mooi weer. sore yang indah kapten"
"Graag gedaan." jawabnya.
mengganggu saja pikirnya.
"Het is bewolkt. menurutku" ucap van langen
"Ik heb u niet verstaan. mengapa anda tampak sedih kapten ?" si coolie keheranan.
"Hoe gaat het? mengapa kamu tidak bekerja ??"
"sudah jam 5 kapten"
van langen terdiam. sudah waktunya, pikirnya.
"Kunt u mijn alstublieft helpen? tolong pukul besi alaarm itu buat mebubarkan para pekerja." perintahnya.
si coolie langsung sigap mengambil sebatang besi untuk memukul besi yang lebih besar.
bunyi lonceng pertanda bubar kerja menggema di area itu.
"loud coolie, loud !!" perintah van langen yang merasa suara loncangnya terlalu lirih.
"LOUD !!! pukul yang KENCENG !!" teriaknya. sampai para pekerja mendengarnya.
"LOUUUD" (dibaca laut)
para pekerja bergumam, laut ? bubar ?
itulah asal muasal kata laut menurut nenek saya.



*ojo gelo dab*

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

kebosanan ? bosan ?

saya sering bertemu dengan orang yang mengeluh bosan. tidak ada sesuatu yang baru, sesuatu yang menarik. demikan kata mereka. sebenarnya saya merasa heran, sekaligus tidak heran (alias biasa-biasa saja) mendengar hal tersebut. mengapa ? pertama, karena dunia ini memang membosankan. mengapa ada banyak hiburan, holywood, infotainment dsb ? ya karena itulah; karena dunia ini memang membosankan bagi mereka, para penikmat hiburan. kedua, karena dunia ini terlalu menarik, sehingga tidak ada sebutir debu pun yang tidak bisa dilewatkan. kemenarikan yang berlebihan dari dunia inilah yang akhirnya menjadi hambar bagi sebagian orang. saya ? bagi saya dunia ini datar namun tak membosankan. kedataran dunia ini adalah keindahan tersendiri bagi saya. saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam dengan hanya duduk dan tak melakukan apapun tanpa merasa bosan. duduk itu sendiri bagi saya adalah suatu kenikmatan tersendiri, rasa kursi yang lembut, tarikan nafas yang nikmat, tembok yang bercerita banyak, irama aliran darah yang berdesir dan berbagai keindahan lainnya. mengapa harus bosan ?

dimasa muda saya dahulu, barangkali kebosanan selama lima menit sudah dapat menjadi alasan pembenaran yang amat kuat untuk segera mengambil sepatu treking, bekpek dan matras lalu segera pergi ke kaki gunung untuk "berpetualangan". namun saya nyatakan sekarang bahwa semua itu hanyalah ilusi, kemanapun kita pergi, kita selalu membawa kaki dan puncak gunung dalam diri kita, jadi untuk apa jauh-jauh mencari ? dimasa muda dulu, kebosanan yang begitu parah biasanya disembuhkan dengan sebotol congyang bersama kawan-kawan dipinggiran sungai, namun sekarang saya sadari bahwa kemabokan yang lebih nikmat ada dalam permenungan diri sendiri.

setiap hari yang saya jalani selalu dipenuhi dengan keindahan dan kegembiraan, walaupun bagi orang lain mungkin terlihat amat membosankan. angin yang saya rasakan dalam perjalanan keseharian terasa sangat segar dan menyejukkan jiwa, sementara menurut beberapa orang membawa bibit penyakit berupa virus influensa. saya merasa sangat bahagia menjalani hari-hari saya walaupun dikejar jadwal penawaran lelang yang sangat mendesak, tagihan-tagihan yang jatuh tempo dan rekan-rekan yang menganggap sulit usaha yang saya jalankan. saya tidak pernah heran pada kesulitan maupun kemudahan, tidak ada hal yang terlalu kecil sehingga ia pantas untuk dilewatkan pun tidak ada hal yang terlalu besar untuk dikejar-kejar. saya pernah menempuh jarak 10 km, 15 km berjalan kaki hanya demi uang dua puluh ribu rupiah, namun pernah juga ongkang-ongkang di rumah sambil mengerjakan proyek senilai 1.1 milyar. membosankan ? sebaiknya kita tinjau lagi akar kata "bosan" itu. jangan-jangan nanti malah menyesatkan kita pada keputus-asaan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Losing my religion?

Ada saat engkau tak lagi mengenali Dia. Saat engkau hanya melihat wajah yang asing. Bagai bayang-bayang pohon dalam kabut pekat. Begitu miris, saat engkau hilang dan arah menjadi sunyi. Saat batin tersayat dan darah tertumpah. Benarkah engkau ada disana?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Im Schattenreich

Semenit lagi, atau dua menit lagi. Bila saya dapat berjalan ke depan ataupun ke belakang waktu. Barangkali menarik. Barangkali mengerikan. Barangkali membosankan. Bukan masalah mengubah sejarah, karena sejarah adalah awal dan akhir yang sulit bergeser kecuali oleh kelahiran kesadaran yang luar biasa, namun lebih kepada menikmati dan menghayati momen-momen khusus yang sulit diulang kembali. Barangkali ini adalah sebuah terapi. Mengapa terapi ? karena sebenarnya yang dicari dan yang menyebabkan sebagian besar penyakit mental adalah The Moment. Sepenggal waktu yang amat khusus. Seperti saat saya jatuh cinta, atau saat saya kecelakaan hingga hampir mati. Itulah saat –penggalan dalam ruang dan waktu- yang sangat berkesan, hingga bahkan dengan mengenangnya saja saya sudah bisa membuat kesadaran bergeser beberapa langkah kesamping kiri atau kanan.

Dan apabila kita dapat melakukan perjalanan ulang di menit-menit tersebut, dan kemudian kembali lagi ke masa kini –kesekarangan- yang tengah dialami tentunya merupakan terapi yang amat baik bagi kehidupan mental dan spirit kita. Saya akan memilih untuk kembali ke momen, saat dimana saya sangat berputus asa hingga ingin mati supaya dapat menyadari betapa beruntungnya saya hidup di saat ini, yang justru sulit sekali untuk saya hargai secara proporsional.

Satu-satunya kesulitan yang pasti saya hadapi, apabila terlalu sering melakukan perjalanan menembus ruang dan waktu ini adalah terjadinya penumpulan kepekaan jiwa. Mengapa ? Karena seperti layaknya berita kriminal yang diulang-ulang terus di televisi, kejadian yang sangat sadis dan mengenaskanpun bisa saya tonton nyambi makan ayam gorang –dan tetap merasa enak. Sebuah kejadian yang –seharusnya- bisa menimbulkan kemualan, lewat begitu saja, seolah ia hanyalah sekumpulan cerita fiktif, yang berlangsung jauh entah dimana. Dan warna merah darah yang ada di tembok sana seperti berobah makna menjadi saos tomat yang sengaja ditumpahkan untuk memberi warna meriah pada acara yang memiliki rating tinggi itu.

Dengan adanya perjalanan waktu orang lalu bisa menjadi sangat egoistis, pesimistis dan lain-lain is yang “negatif”. Orang bisa menjadi Squidward yang tumpul perasaannya dan tidak bisa menikmati hidup ini karena saat liburan pun tetap dihantui oleh bayang-bayang Spongebob yang hendak membakar krusty crab, tentu saja ini Cuma ada di kepala mr. Squid saja.

Walau hanya semenit, perjalanan menembus ruang dan waktu, walau hanya tubuh etherik atau tubuh astral yang terproyeksikan ke belahan waktu di depan atau di belakang kita, akan sangat berbahaya. Sepercik perasaan saja bisa mengobah perjalanan hidup kita. Jangan bermain-main dengan waktu. Baik ke belakang maupun ke depan. Perjalanan menembus waktu yang sesungguhnya adalah saat kita mengenang atau memiliki harapan akan sesuatu. Hal itulah, kenangan dan harapan, yang membuat kita menghargai kemanusiaan kita. Dan membuat kita tetap menjadi manusia.





:nohope:

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Among the Wolves

Kupersembahkan proklamasi ini untuk engkau, sang pengkotbah palsu, dengan syair tanpa irama dan ceramahmu tentang sorga dan neraka yang begitu menyakiti umat manusia yang berhati lembut dan berakal sehat. Untukmu kutuliskan makian seorang pendosa ini.

Engkau membuat agama menjadi wayang dan tontonan layaknya sinetron. Ketika nama tuhan diobral hanya untuk sekedar mempertahankan hidup seorang anak manusia. Ketika makna beragama menjadi sebuah kepentingan egoistik yang mencari surga dengan menendang pantat orang lain. Bahkan si dungu dan si gila pun menjadi muak. Dengan berbagai atribut miring kesucian para agamawan yang engkau lekatkan dengan sampah lengket ke baju seragammu. Aku menjadi sadar, bahwa hidup di dunia ini memang menjalani sebuah neraka. Yang penuh senyum. Menyimpan duri. Hanya karena bertemu denganmu.

Aku menertawakan engkau wahai calon penghuni surga, karena pikiranmu apatis dan ragu terhadap surga namun tetap memperkosa hatimu untuk percaya. Dunia yang lebih baik ? apa itu bukan sekedar guyonan menunggu malam tiba ? percayalah, saat ini kita sedang menjalani neraka. Dan mereka mengatakan disana ada neraka yang lebih dahsyat lagi. Siapakah yang tidak apatis dan pesimis mendengarnya ? berakal sehatlah. Jangan terlalu kejam pada sesamamu dengan secuil ilmu yang engkau miliki. Jangan hanya bisa mengancam karena bahkan dirimu sendiri pun tak yakin akan ucapanmu.

Kepongahanmu terlihat dari raut wajahmu yang licik melebihi musang. Dan bibirmu yang berliur bagai serigala kelaparan benar-benar tak pantas menggumamkan nama tuhan. Kau anggap dirimu suci, sedangkan yang kau makan sebagai pengisi perutmu yang membuncit adalah bangkai. Mayat saudaramu yang mati meratapi nasibnya sebagai pendosa di dunia ini. Bahkan setan pun merasa jijik melihat sosokmu yang sok suci. Mereka sampai berdoa “ya tuhan, jauhkanlah anak cucu kami dari moralitas yang bahkan jahatnya melebihi kaum kami, seperti mereka... “.

Saat yang begitu mengenaskan. Saat hati ingin percaya, namun tiada yang layak untuk diikuti. Saat pikiran ingin istirah, namun tiada tempat yang sepi dari jangkauan suara bisingmu. Barangkali aku memang seorang pendosa, namun perlu engkau catat bahwa aku adalah pendosa yang berkesadaran. Sedangkan dirimu engkau akui sendiri sebagai seorang suci, namun bagiku serupa orang yang tidak sadar. Seorang penidur yang tidak sadar menggumamkan kotbah dalam mimpi-mimpi buruknya. Aku merdeka untuk berpikir, merasa dan bertindak. Tanpa penjajahan tuhanmu yang tak lagi peduli pada dirimu. Aku merdeka !



@ mourning palace

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

The Voices inside my head

Menurut beberapa orang, suara adalah sebentuk gelombang udara, yang muncul akibat adanya penyebab, energi yang termanifestasikan dalam sebuah bentuk gelombang, dan mengalir dalam ruang dan waktu. Suara daun-dan yang bergemerisik terkena hembusan angin maupun suara halilintar yang menggelegar tak ada bedanya. Demikian menurut beberapa orang. Gelombang udara menjadi “suara” saat ia masuk ke sistim pendengaran, telinga, dimana ia dapat menggetarkan membran yang menurut guru sd saya bernama gendang suara, yang pada selanjutnya memberikan aliran impuls-impuls pada saraf yang dikenali dan diterjemahkan oleh otak menjadi bunyi. Begitu sederhananya. Dunia tanpa suara tak akan sama dengan dunia yang sedang saya jalani ini. Setiap saat jutaan suara bergema dalam kesadaran saya. Suara desiran darah mengaliri tubuh, suara detak jantung, suara nafas yang kadang dalam dan kadang dangkal, suara sel-sel yang membelah diri, suara organ organ tubuh yang terus beregenerasi dan semuanya. Sungguh sebuah dunia yang sangat ramai dan menakjubkan.

Menurut sebagian besar orang, suara dapat menjadi penentu nasib mereka. Bagaikan suara tokek dan cicak yang bisa membuat beberapa orang harap-harap cemas, bahkan bisa membuat orang kehilangan akal sehatnya. Demikian pula dengan “suara” atau lebih tepatnya “perolehan suara” bagi mereka yang bermain-main dengan suara rakyat. Suara menjadi barang dagangan, komoditi yang bisa diperjual belikan dengan mengatasnamakan kepentingan umum, harapan, moralitas palsu dan isi perut. Suara yang begitu penuh dengan balutan harapan akan janji yang amat samar dan tanpa jaminan.

Tapi bukan itu “suara” yang saya maksudkan. Suara yang lebih dalam, lebih bermakna, lebih dan lebih dari sekedar mulut “njeplak” dan masuk ke dalam sistim saraf telinga. Suara yang saya maksudkan bahkan mungkin tak pernah tersampaikan lewat mulut dan tak pernah masuk ke sistim saraf telinga seorangpun. Suara yang saya maksudkan adalah suara tanpa suara.

Seorang saudara pernah bilang bahwa saya terlalu merumitkan hal-hal yang sederhana dalam hidup ini. “Biarlah yang sederhana tetap sederhana!”, begitu menurutnya. Namun karena saya dan dia tumbuh dalam lingkungan yang amat berbeda, mau tak mau saya harus menemukan sudut pandang saya sendiri. Dan inilah suara tanpa bunyi. Menurut definisi saya sendiri tentunya. Dengan pola yang rumit seperti biasanya, bahkan membingungkan karena tidak jelas apa maksudnya.

Suara bagi saya bukanlah sebuah energi, gelombang dan berbagai besaran apapun yang dibicarakan orang biasa. Suara bagi saya adalah pencemaran udara, khususnya suara manusia. Dunia ini akan lebih baik bila manusia tidak pernah bersuara. Sampai di poin ini barangkali ada beberapa orang yang curiga akan tendensi tulisan ini sebagai pembenaran akan ketidakmampuan berkomunikasi diri saya. Dalam beberapa hal mereka benar, namun tidak sepenuhnya benar. Suara dan komunikasi memang hal yang kadang sangat berkaitan erat, namun untuk melakukan komunikasi, manusia tidak selalu memerlukan suara. Suara manusia adalah sebuah wabah mengerikan yang telah menghancurkan peradaban kemanusiaan di bumi ini. Suara manusia yang telah mengantarkan kita pada penghancuran umat manusia secara bertahap namun pasti. Sejak penyerbuan jenghis khan ke eropa hingga penyerbuan russia ke georgia, semua merupakan buah karya suara. Entah bisa dimengerti entah tidak, saya tidak peduli. The man behind the gun, demikian orang berkata, namun saya berpendapat (bersuara) the voices inside their head that make the war begins. Dari skala peperangan rumah tangga hingga peperangan dunia semua berasal dari suara tersebut. Ketidakpuasan yang bermanifestasi menjadi suara, berkembang menjadi tindakan yang dilakukan oleh banyak orang.

Ya, memang ini juga adalah suara. Tapi sepenjang anda tidak mendengarkannya, ia akan mandul. Hanya akan Menjadi pixel yang bergeser-geser di layar, bagaikan cahaya sebuah bintang yang sudah mati dua puluh juta tahun yang lalu.

Sejak kecil, saya telah sering mendengar suara-suara aneh dalam kepala saya seperti “siapakah kamu ? siapakah diri saya ?”, “apa yang sedang saya lakukan disini ?”,”mengapa saya ada disini ?”. Berbagai suara sejenis, yang selalu dibarengi oleh rasa malu dan penyesalan, seolah mencoba menyadarkan diri saya siapakah dia sebenarnya. Saat dewasa saya mencoba memahami suara-suara tersebut sebagai kesadaranpurba yang mencoba mengingatkan saya akan asal dan hakikat sesungguhnya dari keberadaan diri saya di dunia yang ini. Ia mencoba mengingatkan entah sudah berapa ratus juta tahun saya ber-reinkarnasi namun selalu belum berhasil juga melepaskan diri dari lingkaran keberadaan ini. Barangkali, merekalah satu-satunya suara sejati dalam diri saya, yang sekarang bahkan telah hilang dimakan kebisingan suara-suara lainnya yang meruang dan mewaktu disini. Saat ini.

Kembali ke suara tanpa suara (sepertinya terlihat sekali bahwa tulisan ini mencerminkan sebuah inkonsistensi, tanpa konsep yang jelas dan bisa menjadi bahan penelitian kepribadian yang terfragmentasi). Suara menjadi indah saat ia tak lagi bersuara. Saat suara kehilangan suaranya, ia akan moksa. Akan kembali pada makna awal keberadaannya. Menjadi jembatan antara pikiran dan hati. Menjadi sarana kesadaran untuk mengaktualisasikan dirinya. Menjadi senyum tanpa kata-kata. Hanya inilah yang bisa saya sampaikan. Menjadi suara tanpa suara. Bagaikan bunga yang mekar di tengah hutan tanpa ada seorang pun yang melihatnya. Ia tetap indah. Tetap wangi.





(merdeka sudah lewat kemarin sore)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS